Oleh Brenda Thessalonika Hetharia, mahasiswa pascasarjana Departemen Kriminologi Universitas Indonesia
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak yang diperoleh individu sejak kelahiran mereka, yang tidak dapat diambil atau dihapus. Meskipun HAM ada pada setiap orang sejak lahir, tidak semua orang tampaknya dapat menikmati hak-hak tersebut. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya individu yang hingga kini masih berjuang untuk mengekspresikan hak-hak mereka.
Secara umum, Indonesia telah mengakui hak asasi manusia sebagai elemen krusial dalam pengelolaan negara, yang dapat dibuktikan dengan adanya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 mengenai Hak Asasi Manusia yang berfungsi sebagai landasan dan panduan untuk menghilangkan semua bentuk diskriminasi, terutama yang dialami oleh wanita dan anak-anak. Meskipun hak asasi manusia telah diterima sebagai faktor penting dalam masyarakat dan pemerintahan di Indonesia selama sekitar 20 tahun, masih ada isu atau fenomena yang muncul bertahun-tahun yang lalu yang akhirnya ditegaskan sebagai pelanggaran berat hak asasi manusia oleh mantan Presiden Jokowi selama masa kepemimpinannya.
Peristiwa yang pada akhirnya ditetapkan sebagai pelanggaran, menunjukkan bahwa diperlukan waktu bertahun-tahun untuk menyadari bahwa kejadian yang terjadi termasuk dalam pelanggaran hak asasi manusia. Hal tersebut memperbesar kemungkinan bahwa ‘kelalaian’ tersebut juga dapat terjadi di masa sekarang, yang dapat diamati dari sikap pemerintah terhadap isu-isu yang dialami oleh kelompok minoritas yang mudah terkena diskriminasi.
Dalam kriminologi, hak asasi manusia memiliki peran penting dalam menegakkan keadilan serta melindungi komunitas, meskipun penerapan undang-undang HAM di Indonesia masih mengalami berbagai tantangan. Banyak insiden pelanggaran hak asasi manusia, khususnya terhadap kelompok-kelompok kecil, masih dianggap wajar, yang menghasilkan siklus diskriminasi yang tidak pernah berakhir. Adanya diskriminasi menyebabkan ‘perlawanan’ sehingga memunculkan tindakan-tindakan anarkis bahkan berujung pada kejahatan sebagai bentuk protes dari diskriminasi yang diterima.
Kriminologi forensik memandang fenomena tersebut sebagai dampak dari ketidakpemenuhan HAM yang dapat memicu kejahatan. Kejahatan dapat terjadi dalam berbagai bentuk termasuk kejahatan digital yang berupa penyebaran kebencian. Kriminologi forensik secara digital dapat berfungsi untuk melihat pola kejahatan yang terjadi dalam media sosial yang dapat menyebabkan seseorang untuk terpengaruh dan melakukan tindakan kejahatan. Selain itu, pengidentifikasian oleh kriminologi forensik untuk melihat latar belakang seseorang, apakah dapat menjadi sebab dari perilaku kriminal yang dilakukan, yang dalam hal ini berkaitan dengan ketidakadilan HAM. Pengidentifikasian ini juga mampu untuk menunjukan pola-pola ketidakadilan dalam masyarakat sebagai penyebab terjadinya kejahatan. Pada dasarnya, kriminologi forensik memiliki perspektif bahwa ketidakpemenuhan hak asasi manusia dapat menyebabkan tekanan sosial yang membuat seseorang melakukan kejahatan sebagai bentuk protes atas hak yang seharusnya diterima namun tidak didapatkan.







