Oleh : Afifah Azzahra
Sebulan setelah pelantikan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia pada bulan Oktober 2024 lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani memberikan penjelasan mengenai tarif PPN 12% yang harus naik. Hal itu sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Dalam pasal 7 ayat (1) UU HPP
disebutkan bahwa tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% akan berlaku paling lambat tanggal 1 Januari 2025.
Sejak saat itu, berbagai lapisan masyarakat mulai dari buruh sampai akademisi mengungkapkan penolakan atas kebijakan tersebut. Hal itu dikarenakan kenaikan PPN akan memiliki dampak yang cukup signifikan bagi masyarakat. Hingga 20 Desember 2024, petisi yang dibuat oleh Bareng Warga sudah ditandatangani oleh 145.362 orang. Di media sosial pun, sempat ramai warganet yang mengunggah lambang garuda latar biru sebagai aksi penolakan terhadap kenaikan PPN menjadi 12%.
Di tengah gelombang penolakan yang terjadi, Presiden Prabowo sudah memutuskan untuk
tetap menjalankan mandat UU HPP yang per 1 Januari 2025 kemarin PPN 12% diberlakukan. Awalnya, pajak 12% ini akan berlaku pada barang dan jasa yang sifatnya mewah saja, seperti beras, daging, buah premium, jasa pendidikan dan kesehatan premium, serta pelanggan listrik premium. Namun, ketentuan itu dibatalkan dan dikenakan hanya pada barang mewah saja.
Pada tanggal 31 Desember 2024, pemerintah merilis Peraturan Menteri Keuangan Nomor 131 Tahun 2024 yang merincikan kategori barang mewah terkena PPN 12%. Diantaranya adalah kendaraan bermotor, hunian mewah dengan harga jual Rp30 Miliar, balon dan pesawat udara tanpa tenaga penggerak, peluru senjata api, dan kapal pesiar mewah yang penggunaannya bukan untuk keperluan negara. Barang-barang tersebut termasuk dalam Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).
Walaupun pajak 12% hanya berlaku untuk barang mewah, namun faktanya masyarakat masih akan terkena pajak (PPN 11%), karena sistem ekonomi kapitalisme yang memimpin dunia saat ini menjadikan sumber pendapatan negara sebagiannya berasal dari pajak. Hasil analisa Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa 80 % realisasi pendapatan Indonesia tahun 2022 – 2024 berasal dari pajak dan sisanya dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Layanan Umum (BLU), dan pendapatan bukan pajak lainnya.
Pemungutan pajak jelas menyengsarakan, karena pungutan tersebut tidak memandang kondisi rakyat. Mirisnya, banyak kebijakan pajak yang memberikan keringanan pada para pengusaha dengan alasan untuk meningkatkan investasi pengusaha bermodal besar. Asumsinya, investasi akan membuka lapangan kerja dan bermanfaat untuk rakyat. Padahal, faktanya tidak seperti itu. Situasi ekonomi dunia memburuk, penghasilan masyarakat menjadi anjlok. Jadi, jika bertumpu pada pajak, banyak orang yang tidak punya penghasilan.
Memang tidak tepat jika pajak menjadi tumpuan utama dalam pemasukan negara. Buktinya, jika dipaksakan pun hal ini akan terus mendapat protes dari masyarakat. Adapun, Islam memandang pajak sebagai alternatif terakhir sumber pendapatan negara, itu pun hanya dalam kondisi dan kalangan tertentu saja. Islam memiliki sumber pendapatan yang banyak dan beragam ditambah dengan pengaturan Sistem Politik dan Ekonomi Islam, khilafah akan mampu menjamin kesejahteraan rakyat per individu.
Dalam kitab al amwal fi daulah khilafah, dijelaskan bahwa harta kekayaan dalam negara Islam berasal dari: (1) Anfal, Ghanimah, Fai, dan Khumus, (2) Kharaj, (3) Jizyah, (4) Harta milik umum, (5) Harta milik negara yang berupa tanah, bangunan, sarana umum, dan pendapatannya, (6) Harta usyur, (7) Harta tidak sah para penguasa dan pegawai negara, harta hasil pekerjaan yang tidak diizinkan syara’, serta harta yang diperoleh dari hasil tindakan curang lainnya, (8) Khumus barang temuan dan barang tambang, (9) Harta kelebihan dari (sisa) pembagian waris, (10) Harta orang-orang murtad, (11) Harta zakat, (12) Pajak (dlaribah).
Pajak adalah harta yang diwajibkan Allah SWT kepada kaum Muslim untuk membiayai berbagai kebutuhan dan pos pengeluaran yang memang diwajibkan atas mereka disaat tidak adanya uang ataupun harta di baitul mal Kaum Muslim. Kewajiban membayar pajak tersebut hanya dibebankan atas Kaum Muslim yang mempunyai kelebihan dalam memenuhi kebutuhan pokok dan pelengkap dengan cara yang ma’ruf.
Islam juga menetapkan penguasa sebagai rain dan junnah, serta mengharamkan penguasa
untuk menyentuh harta rakyat. Bahkan, penguasa wajib mengelola harta rakyat untuk akhirnya dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk berbagai fasilitas umum dan layanan yang akan memudahkan hidup rakyat. Islam telah melarang keras pungutan pajak atas rakyat dan mengancam pemungutnya. Rasulullah saw bersabda, “Tidak akan masuk surga pemungut pajak (cukai)” (HR Ahmad, Abu Dawud dan al-Hakim).
Wallahu A’lam







