Oleh : Bella Lutfiyya, Aktifis
Kelangkaan gas elpiji atau LPG 3 kilogram di pasaran membuat resah masyarakat. Pasalnya, masyarakat sulit menemukan gas yang biasanya tersedia di pengecer. Hal ini merupakan imbas dari penataan distribusi gas elpiji 3 kilogram dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 37 Tahun 2023 tentang Petunjuk Teknis Pendistribusian Isi Ulang Liquefied Petroleum Gas (LPG) Tertentu Tepat Sasaran.
Dalam aturan tersebut, penjualan elpiji 3 kg hanya boleh dilakukan oleh sub penyalur yang memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB). Menurut Bahlil Lahadalia selaku Menteri Energi dan Sumber Daya Alam (ESDM), saat ini pemerintah sedang menata pengelolaan gas elpiji agar tidak ada oknum yang menaikkan harga. (Tribunnews.com, 2 Februari 2025).
Selain itu, para pengecer gas juga merasakan kelangkaan gas elpiji 3 kilogram, karena stok dari agen terbatas yang kemudian diperparah dengan masa libur panjang Isra’ Mikraj dan Imlek yang menghambat proses distribusi gas ke pangkalan-pangkalan yang ada. Akibatnya, banyak penjual eceran tidak dapat melayani pembeli karena ketersediaan memang kosong.
Di lain sisi, Bahlil Lahadalia membantah kelangkaan gas elpiji 3 kilogram. Menurutnya, pemerintah hanya melakukan pembatasan pembelian gas elpiji oleh konsumen (beritasatu.com, 31 Januari 2025)
Namun, bantahan tersebut tidak sesuai dengan fakta di lapangan. Tidak hanya di Jakarta, berbagai daerah seperti di Depok, Pontianak, bahkan daerah-daerah di Pulau Jawa juga terkena imbasnya. Masyarakat bahkan rela antre berjam-jam hanya untuk memperoleh gas. Banyak yang juga datang ke daerah lain menempuh jarak yang cukup jauh hanya untuk mendapatkan gas elpiji. Pengurangan distribusi gas di lapangan sangat menyulitkan kondisi dapur dan perekonomian warga, bahkan menyebabkan korban jiwa berjatuhan.
Kelangkaan gas elpiji menjadi bukti abainya pemerintah terhadap kondisi rakyat. Jika memang timbul kekhawatiran akibat para pengecer -yang pemerintah sebut sebagai oknum- yang menaikkan harga gas elpiji, seharusnya pemerintah mampu menawarkan solusi yang lebih solutif, yaitu dengan pendistribusian langsung yang merata dengan harga yang masuk akal, bukan malah meminimalisir jumlah gas di pasaran.
Mirisnya, oknum yang disebut pemerintah inilah yang justru membantu pendistribusian gas elpiji ke daerah dan pelosok yang tidak dapat dilakukan oleh pemerintah itu sendiri. Pembatasan gas elpiji di pasaran hanya menimbulkan kekacauan di masyarakat yang parahnya menyebabkan beberapa korban jiwa.
Hal ini menjadi bukti minimnya tindakan pemerintah dalam melayani rakyatnya sendiri. Kini lengkap sudah penderitaan rakyat, antrean bensin, minyak goreng, lowongan pekerjaan, dan kini gas elpiji. Pertanyaannya, mana peran pemerintah yang seharusnya melayani kebutuhan rakyatnya?
Sistem rusak yang saat ini dijadikan pijakan adalah sumber masalah dari segala kekacauan yang ada di negeri ini. Kapitalisme telah membuat para penguasa buta, haus kekuasaan dan kekayaan. Peran sebagai pemimpin yang seharusnya bertanggung jawab terhadap tugasnya dalam melayani kebutuhan rakyat tergantikan dengan sifat tamak, karena begitu menggiurkannya harta dan tahta di ujung mata. Para penguasa kini hanya peduli dengan kepentingan dirinya sendiri dan oligarki.
Inilah mengapa tugas pemimpin adalah tugas yang berat, perlu orang – orang yang kompeten, amanah, dan mempunyai rasa takut terhadap Allah SWT agar dapat melaksanakan tugasnya sebagai raain atau pelayan umat. Pemimpin yang amanah akan menjalankan tugas pengurusan umat dengan semestinya, yaitu memelihara segala urusan rakyatnya, seperti menjamin pemenuhan kebutuhan pokok mulai dari sandang, pangan, dan papan, pemenuhan pendidikan, kesehatan, dan keamaan, serta pemenuhan perlindungan rakyat dari segala ancaman dan gangguan.
Perubahan kebijakan distribusi gas elpiji merupakan keniscayaan dalam sistem ekonomi kapitalisme, karena salah satu sifat sistem ini adalah memudahkan para pemilik modal besar untuk menguasai pasar dari bahan baku hingga bahan jadi. Sistem ini juga meniscayakan adanya liberalisasi (migas) dengan memberi jalan bagi korporasi untuk mengelola Sumber Daya Alam (SDA) yang sejatinya adalah milik rakyat. Negara tidak boleh menyerahkan pengelolaan migas ini pada perorangan ataupun perusahaan.
Islam menetapkan migas termasuk dalam kepemilikan umum dan mewajibkan negara untuk mengelola sumber daya tersebut untuk kepentingan rakyat, sesuai dengan fungsi negara sebagai raa’in atau pelayan umat, bukan justru menjadikannya sebagai lahan kekayaan pribadi.
Negara seharusnya memudahkan rakyat untuk mengakses berbagai kebutuhan layanan publik, fasilitas umum, dan SDA yang merupakan hajat publik, termasuk salah satunya adalah migas. Jadi, perubahan sistem distribusi gas ini adalah bukti zalim-nya negara dan para penguasa kepada rakyat.
Sementara pemerintahan dalam Islam akan memastikan setiap kebutuhan rakyatnya terpenuhi. Jika kilas balik sejenak, dahulu Khalifah Umar bin Khattab berjalan di malam hari untuk mengetahui kondisi warganya, meninjau kondisi kota dan lingkungan, serta memastikan kinerja para pegawai dalam penyaluran zakat dan pembangunan. Beliau hidup dalam kesederhanaan. Semua ini bertumpu pada satu hal, yaitu takut kepada Allah SWT. Takut jika tidak bersikap adil terhadap rakyat, takut jika rakyat menderita, takut dengan tanggung jawab yang diemban yang semuanya akan Allah adili di akhirat kelak.
Sudah selayaknya para penguasa saat ini meneladani para pemimpin di masa lampau, terutama di masa kejayaan Islam. Para penguasa harus memiliki akidah yang kuat untuk mampu menjalankan perannya sebagai pelayan dan pengurus rakyat, menyelesaikan masalah dengan solusi yang solutif, kuat dan tegas yang diiringi dengan sifat takwa dan kontrol diri agar tidak kebablasan.







