Oleh Cinta Ing Larasati, Mahasiswa Komunikasi Digital dan Media, Sekolah Vokasi IPB
Konflik antara Israel dan Palestina merupakan salah satu konflik paling rumit di dunia. Konflik yang berawal dari perebutan wilayah pada tahun 1948 ini terus berlangsung hingga hari ini. Tidak hanya itu, konflik tersebut juga melibatkan berbagai pelanggaran hak asasi manusia, sehingga memicu perhatian ratusan negara. Indonesia secara tegas menyatakan dukungannya kepada Palestina, dan salah satu bentuk solidaritas yang dilakukan adalah memboikot produk-produk Israel.
Kampanye Boycott, Divestment, Sanctions (BDS) sudah cukup dikenal di Indonesia. Banyak pihak menyerukan untuk menghindari pembelian atau penggunaan produk yang berasal dari Israel atau perusahaan yang dianggap mendukung kebijakan negara tersebut. Tindakan ini tentu saja meningkatkan tekanan ekonomi, politik, dan sosial terhadap Israel. Namun, bagaimana dengan dampak sosial dan ekonomi yang signifikan terhadap pekerja di Indonesia?
Dilema Solidaritas dan Pekerja Lokal
Saya memahami bahwa langkah ini adalah wujud nyata dukungan terhadap Palestina yang terus menghadapi penindasan. Namun, di sisi lain, saya tidak bisa mengabaikan bahwa gerakan ini juga menimbulkan tantangan besar, terutama bagi pekerja di Indonesia. Salah satu hal yang saya sadari adalah ketika produk-produk tertentu tidak laku di pasaran, dampaknya akan langsung dirasakan oleh para pekerja lokal.
Tindakan ini dapat menyebabkan pengurangan jam kerja, pemotongan gaji, hingga risiko kehilangan pekerjaan bagi mereka yang bergantung pada kelangsungan bisnis tersebut untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Saya melihat hal ini sebagai sebuah dilema.
Sebagai masyarakat yang peduli, kita tentu harus melihat permasalahan ini secara menyeluruh dan mempertimbangkan berbagai solusi yang dapat meminimalkan dampak negatifnya terhadap pekerja lokal. Salah satu solusi yang dapat diambil adalah memperbanyak penggunaan produk lokal dan memperkuat industri dalam negeri.
Ketika masyarakat berhenti mengonsumsi produk tertentu yang terkait dengan Israel, ada peluang besar bagi produsen lokal untuk mengisi kekosongan pasar. Ini adalah momen yang tepat bagi pelaku usaha kecil dan menengah (UMKM) untuk mengembangkan produk baru. Contohnya, dalam pemboikotan terhadap McDonald’s (MCD), kini banyak masyarakat yang beralih ke UMKM seperti Jatinangor House, yang menawarkan makanan serupa. Hal serupa juga terjadi pada pemboikotan Starbucks, yang kemudian mendorong berkembangnya UMKM yang menjual minuman kopi dengan konsep serupa.
Potensi UMKM di Tengah Pemboikotan
Dari kedua contoh tersebut, saya melihat potensi besar dari UMKM di Indonesia. Keberhasilan UMKM tersebut membuktikan bahwa produk lokal mampu bersaing dan tidak kalah berkualitas dibandingkan dengan merek yang diboikot. Pekerja lokal juga dapat mulai beralih ke perusahaan yang tidak terafiliasi dengan Israel. Jika UMKM semakin mendominasi, maka lambat laun produk Israel bisa hengkang dari Indonesia.
Momen ini sebaiknya dimanfaatkan dengan baik untuk memperkuat produk lokal dan UMKM. Dengan membeli produk lokal, kita tidak hanya membantu pelaku UMKM, tetapi juga memperkuat ekonomi Indonesia. Langkah ini tidak hanya memberikan dampak jangka pendek, tetapi juga membuka jalan bagi kemandirian ekonomi di masa depan.
Pada akhirnya, dilema yang muncul dari gerakan pemboikotan ini dapat menjadi peluang besar bagi bangsa kita untuk tumbuh dan berkembang. Jika momentum ini dimanfaatkan dengan baik, bukan hanya UMKM yang akan mendapat manfaat, tetapi juga seluruh masyarakat Indonesia. Dengan demikian, solidaritas terhadap Palestina tetap dapat kita tunjukkan tanpa harus mengorbankan kesejahteraan pekerja lokal.










