DEPOKPOS – Di tengah tantangan ekonomi global yang semakin kompleks, masalah kekurangan lapangan pekerjaan telah berkembang menjadi krisis multidimensi yang tidak hanya berdampak pada angka statistik pengangguran, tetapi juga membentuk pola pikir dan norma sosial yang bermasalah.
Fenomena ini melahirkan apa yang bisa disebut sebagai “kewajaran yang salah” suatu kondisi di mana praktik-praktik yang seharusnya tidak dapat diterima justru dianggap normal dan tak terhindarkan. Akar masalah ini bersifat struktural namun dampaknya sangat personal, menyentuh setiap aspek kehidupan masyarakat, mulai dari ruang keluarga hingga tatanan sosial secara keseluruhan.
Sektor formal yang tidak mampu menyerap tenaga kerja secara memadai telah memicu berbagai bentuk adaptasi yang justru kontraproduktif. Di perkotaan, kita menyaksikan bagaimana lulusan sarjana rela bekerja sebagai driver ojek online dengan penghasilan tak menentu, sementara di pedesaan, kaum muda berbondong-bondong menjadi buruh migran dengan segala risikonya.
Yang lebih memprihatinkan, munculnya anggapan bahwa “yang penting bekerja” tanpa mempertimbangkan kesesuaian kompetensi, kondisi kerja, atau perlindungan hukum telah menjadi mindset yang diwariskan antargenerasi.
Pasar tenaga kerja yang tidak seimbang ini menciptakan hubungan kerja yang timpang. Perusahaan-perusahaan, terutama di sektor informal, dengan leluasa menawarkan kontrak kerja yang merugikan pekerja – mulai dari upah di bawah standar, jam kerja yang melebihi ketentuan, hingga ketiadaan jaminan sosial. Ironisnya, banyak pekerja yang justru bersyukur bisa mendapatkan pekerjaan semacam ini, menunjukkan betapa standar hak pekerja telah mengalami erosi yang serius.
Fenomena ini bukan hanya terjadi pada pekerja kasar, tetapi juga menjangkiti profesional muda yang terpaksa menerima posisi tidak sesuai kualifikasi dengan bayaran minimal.
Dampak Sosial pada Generasi Muda
Dampak sosial dari normalisasi ini jauh lebih dalam daripada yang terlihat di permukaan. Keluarga-keluarga mulai menganggap wajar jika anak mereka harus bekerja sejak usia dini, mengorbankan pendidikan formal. Kaum muda kehilangan motivasi untuk mengejar pendidikan tinggi ketika melihat realitas lapangan kerja yang suram.
Yang lebih berbahaya, munculnya persepsi bahwa kesuksesan hanya bisa diraih melalui jalan pintas, memicu maraknya praktik-praktik tidak etis dalam dunia kerja.
Sektor kreatif dan digital yang semula diharapkan menjadi solusi justru berkembang menjadi rimba tanpa aturan yang jelas. Banyak pekerja kreatif yang terjebak dalam sistem kerja tanpa perlindungan, menerima pembayaran tidak tepat waktu, atau bahkan menjadi korban eksploitasi konten.
Platform-platform digital seringkali lebih memprioritaskan keuntungan perusahaan daripada kesejahteraan mitra kerjanya, namun hal ini diterima sebagai konsekuensi logis dari kemajuan teknologi.
Di level kebijakan, minimnya regulasi yang protektif terhadap pekerja semakin memperparah keadaan. Pemerintah seringkali terjebak dalam paradigma pertumbuhan ekonomi semata, mengabaikan aspek keadilan sosial dalam penciptaan lapangan kerja.
Program-program pelatihan kerja yang ada belum menyentuh akar masalah, sementara insentif untuk dunia usaha belum diimbangi dengan pengawasan yang memadai terhadap hak-hak pekerja.
Perubahan pola pikir ini telah mencapai titik yang mengkhawatirkan ketika masyarakat mulai memaklumi bahkan pekerjaan ilegal sebagai alternatif yang sah. Maraknya perdagangan narkoba, penipuan online, atau pekerjaan dalam industri abu-abu lainnya seringkali dibungkus dengan narasi “perjuangan hidup”.
Yang lebih berbahaya, munculnya persepsi bahwa sistem yang ada tidak akan pernah berubah, sehingga menerima keadaan menjadi satu-satunya pilihan.
Peran Pemerintah dan Masyarakat Dalam Memutus Rantai Masalah
Mengatasi masalah ini memerlukan pendekatan komprehensif yang melibatkan semua pemangku kepentingan. Di tingkat makro, diperlukan kebijakan ekonomi yang pro lapangan kerja dan reformasi sistem pendidikan yang lebih responsive terhadap kebutuhan pasar kerja.
Di tingkat mikro, perlu dibangun kesadaran kritis di masyarakat tentang hak-hak pekerja dan pentingnya menjaga standar etika kerja. Lembaga pendidikan memiliki peran krusial dalam membentuk mindset generasi muda tentang makna pekerjaan yang layak.
Dunia usaha pun harus diajak bertanggung jawab untuk menciptakan ekosistem kerja yang lebih adil. Tidak cukup hanya menciptakan lapangan kerja, tetapi juga memastikan kualitas pekerjaan tersebut memenuhi standar kelayakan. Serikat pekerja perlu diperkuat untuk menjadi mitra seimbang dalam memperjuangkan hak-hak pekerja.
Pada akhirnya, mengoreksi “kewajaran yang salah” ini bukan hanya tentang menciptakan lebih banyak lapangan kerja, tetapi tentang membangun ekosistem ketenagakerjaan yang berkeadilan dan berkelanjutan. Setiap lapangan kerja yang tercipta harus menjadi ruang bagi pengembangan potensi manusia, bukan sekadar angka dalam statistik pengangguran.
Hanya dengan pendekatan holistik seperti inilah kita bisa memutus lingkaran setan yang mengubah kekurangan lapangan kerja menjadi pembenaran untuk menurunkan standar hak-hak pekerja.
Kirana Wilania Agriesia
Mahasiswa Universitas Pamulang.










