Ironi Negeri Agraris: Ketika Petani Jadi Penonton di Lahan Sendiri

DEPOKPOS – Nasib petani di negeri agraris ini sudah kian mengkhawatirkan, mereka tak bisa lagi mengelola lahannya sendiri dengan suka hati. melainkan keterpaksaan petani memberikan lahan-lahan kepada para mafia tanah. mengambil lahan yang bukan miliknya secara paksa, tidak memperhatikan kebijakan-kebijakan yang sudah diatur dalam UU negara. mengambil alih kepemilikan lahan, sehingga para petani tak mampu lagi melawan. mungkin, karena peraturan negara ini memang tidak berlaku bagi kalangan bawah, yang membuat kalangan atas berlaku seenaknya. lemahnya hukum negeri ini membuat para petani menangis di tanahnya sendiri.

Fenomena pengambilalihan lahan oleh mafia tanah kerap terjadi di pelosok desa. Ini menjadi sebuah ironi sekaligus kegagalan negara dalam melindungi petani, seakan-akan menelantarkan mereka di tanah kelahirannya sendiri. Akibatnya, banyak petani yang beralih profesi dan enggan mendorong anak cucunya untuk meneruskan profesi ini. Jumlah petani pun kian berkurang, sementara impor pangan terus diberlakukan di tengah kondisi ekonomi yang kian memburuk. Kini, petani tidak lagi berada di era sejahtera, melainkan di era keterpurukan, tak berdaulat di atas tanahnya sendiri.

Sejak lama, pertanian telah menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Karena tanah yang subur dan iklim yang mendukung, masyarakat sejak zaman dahulu sudah terbiasa hidup dari hasil bertani. Sistem pertanian tradisional seperti ladang berpindah di wilayah timur, atau sawah irigasi di Jawa, menunjukkan bahwa pertanian sudah menjadi budaya turun-temurun. Bahkan, pada masa kerajaan seperti Majapahit, pertanian menjadi penopang utama ekonomi. Petani dihargai karena mereka menjaga ketersediaan pangan dan menjadi bagian penting dari keberlangsungan hidup bangsa.

Namun, seiring waktu, posisi petani justru semakin terpinggirkan. Pada masa penjajahan, petani dipaksa menanam tanaman untuk kepentingan kolonial, bukan untuk kebutuhan sendiri. Setelah kemerdekaan pun, kebijakan negara belum sepenuhnya berpihak pada petani. Pembangunan lebih difokuskan pada kota dan industri, sedangkan lahan pertanian terus menyempit. Banyak lahan petani diambil alih untuk proyek besar atau dikuasai oleh orang-orang yang lebih kuat. Mafia tanah pun ikut memperparah keadaan. Akibatnya, petani yang dulu menjadi tulang punggung negara, kini justru seperti tamu di tanahnya sendiri.

Kini, banyak petani terpaksa menyerahkan lahannya karena tekanan ekonomi, intimidasi dari pihak tak bertanggung jawab, hingga perampasan ilegal oleh mafia tanah yang tak peduli dengan nasib negeri ini. Kondisi ini mendorong Indonesia semakin mendekati jurang keterpurukan. Salah satu contohnya, pasangan suami istri petani di Toraja yang lahannya seluas beberapa hektare diambil paksa oleh oknum. Padahal, mereka dengan tegas menolak menjual tanah itu kepada siapa pun, apalagi dengan harga murah. Bayangkan saja, lahan berhektare-hektare hanya dihargai dengan nominal yang kecil. Nilai yang sangat merugikan, bahkan tak cukup untuk memenuhi kebutuhan setahun. Kasus ini sempat viral lewat sebuah video di media sosial.

Aparat kepolisian yang kita kenal mengayomi semua kalangan rakyat, membela yang berbuat kebenaran, tegas terhadap hukum, justru malah sebaliknya. Mereka malah membela para pemilik kekuasaan, mengayomi rakyat atas, dan yang memiliki uang banyak. Sampai menangis darah pun, para petani tidak akan mendapatkan haknya jika aparat kepolisian masih tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Hak-hak yang seharusnya mereka dapatkan malah tidak diberi dan direbut oleh pihak penguasa tanah. Keadilan hanya berpihak pada yang punya kuasa, sementara rakyat kecil dibiarkan terluka, tertindas, dan terus disingkirkan dari tanah kelahirannya sendiri.

Tidak hanya di Toraja, kasus serupa juga terjadi di berbagai daerah lain di Indonesia. Di Silat Hilir, Kalimantan Barat, para petani plasma harus berjuang mempertahankan hak atas lahannya sendiri yang diklaim sepihak oleh pihak perusahaan. Mirisnya, mereka justru diminta membayar biaya ganti rugi untuk lahan yang sejak awal adalah milik mereka. Betapa ironis, rakyat kecil yang seharusnya dilindungi justru ditindas di negeri yang katanya menjunjung tinggi keadilan. Beberapa petani bahkan harus mendatangi langsung bupati untuk meminta pertolongan, berharap ada secercah keadilan dari pemerintah daerah. Namun seperti biasa, suara rakyat kecil kerap kali hanya jadi angin lalu. Tak ada kebijakan konkret yang berpihak pada mereka, hanya janji-janji kosong yang entah kapan ditepati.

Hal serupa juga terjadi di banyak desa yang tanahnya kini didominasi perusahaan sawit. Alih-alih sejahtera, warga hanya jadi penonton di kampungnya sendiri. Mereka menyaksikan pohon-pohon sawit yang menjulang tinggi di atas lahan yang dulunya ditanami padi, jagung, dan berbagai tanaman pangan lain. Dulu, sawah-sawah itu menjadi sumber kehidupan, tapi sekarang hanya jadi hamparan pohon milik perusahaan besar. Penduduk desa tidak punya kuasa lagi atas tanah itu, bahkan untuk sekadar memetik buah sawit pun harus izin. Seperti yang diungkap dalam laporan Hanya Bisa Jadi Penonton di Kampung Sendiri, warga di banyak desa di Kalimantan harus menerima kenyataan pahit menjadi buruh di tanahnya sendiri, sementara keuntungan melimpah mengalir ke kantong pemilik modal.

Pemerintah seharusnya sadar, ketahanan pangan tidak bisa dibangun di atas ketidakadilan. Negeri ini tidak akan kuat kalau rakyatnya dipaksa lapar di tanah yang subur. Tidak bisa disebut negeri agraris kalau para petaninya terusir dari lahannya sendiri. Tidak bisa disebut berdaulat kalau kebutuhan pangan malah terus diimpor. Karena itu, pemerintah harus tegas menindak mafia tanah dan perusahaan-perusahaan rakus yang semena-mena terhadap petani. Bukan malah melindungi mereka dengan berbagai celah hukum yang dibuat seolah-olah legal.

Kebijakan-kebijakan agraris yang tidak sesuai dengan hak petani seharusnya dihapuskan saja, hanya menguntungkan pihak atas yang sudah berkuasa, seperti kebijkan “penguasaan lahan oleh korporasi besar”. Hal tersebut membuat investor dengan mudah mengakuisisi lahan dengan skala yang luas untuk ukuran lahan pertanian yang bisa sampa berhektar-hektar. Kebijakan tersebut sangat merugikan petani sebab kehilangan mata pencaharian tradisional. Lalu dengan adanya kebijakan “Kurangnya Akses Petani terhadap Pasar dan Modal”, petani dibuat sulit untuk menjual bahan pertanian ke tengkulak, tidak mendapatkan keadilan, serta tengkulak mudah memainkan harga, yang menyebabkan petani menjual bahan pangan dengan harga yang murah.

Seharusnya pemerintah bisa membuat percepatan legalisasi tanah untuk petani agar bisa memastikan kepemilikan lahan. Hal itu bisa membuat petani tidak was-was dengan pihak-pihak yang bisa dengan mudahnya merebut hak kepemilikan lahan. Selanjutnya dapat memudahkan akses petani ke pasar, dengan penguatan lembaga petani, seharusnya bisa Mendukung pembentukan dan penguatan koperasi petani agar mereka memiliki daya tawar yang lebih besar dalam pemasaran hasil panen dan pembelian sarana produksi.

situasi petani yang kian memang sudah memprihatikan di negeri agararis ini. merasakan tekanan yang dilakukan oleh mafia tanah dengan melakukan perampasan lahan secara paksa. ketidakadilan yang membuat hak-hak petani diterlantarkan. pihak kepolisian yang terlalu berpihak ke atas menyebabkan petani sulit untuk melaporkan masalah terkait. perlindungan terhadap hak petani memang masih lemah, yang membuat mereka terpinggirkan di lahan mereka sendiri. bekerja keras dari pagi hingga malam, keringat yag bercucuran di bawah terinya panas matahari, membuat bukti bahwa mereka sangat bekerja keras untuk menjalani kehidupan. fenomena ini dapat menyebabkan dampak yang mengancam kesejahteraan petani yang berdampak serius pada ketahanan pangan kedepannya.

kegagalan yang seakan-akan tidak terlihat, seperti dibuat abai dan tidak dipedulikan. sejarah telah memberikan bukti bahwa pertanian merupakan fondasi kehidupan bangsa ini. sejak era kerajaan hingga masa kemerdekaan, petani selalu menjadi fondasi utama dalam bidang pangan. namun di era modern ini, kebijakan agraria tidak berpihak pada petani saat ini. akibat kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak pada petani saat ini, sulitnya menjual bahan pangan dengan harga yang tinggi, generasi muda mulai enggan melanjutkan profesi ini sehingga indonesia bergantung pada impor.

Ironi ini tidak boleh terus dibiarkan. Kita tidak bisa terus menjadi bangsa penonton di tanah yang kita lahirkan, kita besarkan, dan kita cintai. Petani adalah tulang punggung negeri. Kalau mereka rapuh, maka negeri ini juga akan runtuh. Jangan sampai kita baru sadar ketika semuanya sudah terlambat, ketika sawah-sawah telah berubah jadi pabrik, ketika hutan-hutan telah jadi kebun sawit, dan ketika negeri ini hanya jadi pasar bagi produk asing.

Kita semua harus bergerak. Pemerintah, masyarakat, akademisi, jurnalis, aktivis, hingga pelajar. Karena mempertahankan tanah adalah mempertahankan kehidupan. Bukan sekadar soal ekonomi, tapi soal keberlanjutan, soal harga diri bangsa. Seperti kata pepatah, “sejengkal tanah adalah sejuta nyawa.” Dan kalau sejengkal demi sejengkal itu hilang, maka perlahan-lahan kita juga akan kehilangan masa depan.

Harapan yang sungguh tinggi untuk negeri ini, di mana kebijakan-kebijakan yang menyulitkan petani berubah. Walaupun rakyat harus terus berjuang menyuarakan keadilan, sampai tetes air mata terakhir. Tidak tau kapan akan mendapatkan haknya kembali, seperti zaman preseiden soeharto dan bj, habibie, di mana petani sangat disejahterakan. Kami ingin era itu kembali lagi.

Siti Maisaroh Shadrina Syaiputri
Fakultas Sains dan Teknologi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta