DEPOKPOS – Menjadi dewasa bukan sekadar angka yang bertambah di usia. Ia datang bersama tuntutan, kegelisahan, dan perubahan-perubahan besar yang tak jarang mengusik kestabilan emosi. Banyak dari kita, terutama perempuan muda dan mahasiswi, memasuki fase ini dengan idealisme tinggi namun pelan-pelan disadarkan bahwa dunia tidak seindah teori yang diajarkan di kelas. Di tengah kekacauan itu, kesehatan mental kita sering kali menjadi korban yang diam-diam terluka.
Tekanan akademik, ekspektasi keluarga, dinamika pertemanan, hingga pencarian jati diri menjelma menjadi beban yang terus menumpuk. Seringkali, kita merasa harus kuat, harus produktif, harus baik-baik saja padahal dalam hati kita sendiri sedang berantakan. Dalam suasana seperti ini, mencintai diri sendiri bukan hanya sulit, tapi terasa seperti kemewahan yang tak semua orang bisa punya.
Sayangnya, kita lebih sering diajarkan cara menjadi sukses daripada cara menjadi utuh. Kita lebih sering dipuji karena pencapaian, bukan karena keberanian untuk beristirahat. Akibatnya, banyak perempuan muda yang merasa bersalah saat berhenti sejenak. Padahal, jeda itu penting. Merawat diri, mengenali luka, memberi ruang untuk kesedihan, adalah bentuk self-love yang paling esensial.
“Berhenti sejenak bukan berarti kamu kalah. Itu berarti kamu cukup bijak untuk menjaga dirimu sendiri.”
Self-love bukan tentang memanjakan diri dengan hal-hal mewah, melainkan tentang keberanian untuk berkata: “Aku berharga, bahkan ketika aku gagal. Aku pantas dicintai, bahkan saat aku belum sempurna.” Ia adalah proses, bukan hasil instan. Dan yang paling penting, self-love adalah fondasi untuk menjaga kesehatan mental kita tetap waras di tengah dunia yang sering kali membuat kita merasa tidak cukup.
Sudah saatnya kita menormalisasi rawat diri sebagai bentuk kekuatan, bukan kelemahan. Mengakses bantuan profesional, berbagi cerita, atau sekadar menangis pun tak apa. Kita tak perlu menjadi versi sempurna dari ekspektasi orang lain. Cukup menjadi versi paling jujur dari diri sendiri.
“Dewasa itu melelahkan, tapi dengan mencintai diri sendiri, kita bisa menjalaninya dengan lebih manusiawi.”
Namun, tantangan terbesar dalam mencintai diri sendiri adalah ketika dunia menuntut kita untuk terus bergerak, meskipun hati ingin berhenti. Kita terbiasa menekan emosi, takut dianggap lemah, padahal kejujuran terhadap diri sendiri adalah bentuk kekuatan paling murni.
Tidak apa-apa jika kamu belum menemukan jalan hidupmu. Tidak apa-apa jika kamu merasa tersesat di tengah pilihan. Proses menjadi dewasa memang tidak selalu lurus. Kadang kita jatuh, merasa gagal, kecewa pada diri sendiri. Tapi dari kegagalan itu, kita bisa belajar tentang ketahanan, tentang menerima, tentang bagaimana caranya memeluk diri sendiri yang rapuh.
Kita perlu berhenti membandingkan proses hidup kita dengan orang lain. Apa yang terlihat sempurna di luar sana belum tentu bebas dari luka. Kita masing-masing punya waktu, punya jalur, dan punya hak untuk tumbuh dengan cara yang berbeda.
Cintai diri bukan berarti egois. Cintai diri adalah menghargai tubuh dan jiwa yang selama ini berjuang tanpa pamrih. Maka mulai hari ini, berikan dirimu ruang untuk bernapas. Dengarkan suara hatimu, pelan-pelan. Beri ucapan terima kasih pada dirimu sendiri yang telah bertahan sejauh ini.
“Terima kasih sudah bertahan sejauh ini. Itu pun sudah luar biasa.”
Nur Alijah










