Anak Muda dan Budaya Nongkrong: Sekadar Gaya atau Pencarian Jati Diri?

Bagi sebagian besar anak muda, nongkrong adalah cara untuk melepaskan penat dari rutinitas harian

DEPOKPOS – Di berbagai sudut kota—dari kafe Instagramable hingga warung kopi pinggir jalan – kita bisa melihat sekelompok anak muda duduk melingkar, bercengkerama, tertawa, dan kadang hanya sibuk menatap layar ponsel mereka. Budaya nongkrong telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan generasi muda masa kini. Nongkrong bukan sekadar kegiatan mengisi waktu luang, melainkan sebuah fenomena sosial yang kompleks dan memiliki banyak lapisan makna.

Lalu, apakah nongkrong ini hanya sekadar gaya hidup kekinian? Atau sebenarnya mencerminkan pencarian identitas dan ruang ekspresi dari anak muda yang sedang mencari tempatnya di tengah masyarakat yang terus berubah?

Nongkrong Sebagai Cermin Sosial Anak Muda

Budaya nongkrong bukanlah hal baru di Indonesia. Sejak dulu, masyarakat Indonesia dikenal memiliki tradisi “ngumpul” atau berkumpul sebagai bagian dari kehidupan sosial. Bedanya, jika dulu nongkrong lebih identik dengan kumpul di pos ronda, lapangan, atau warung kopi sederhana, kini ruangnya meluas ke tempat-tempat modern seperti coworking space, kafe berdesain estetik, hingga pusat perbelanjaan.

Bagi sebagian besar anak muda, nongkrong adalah cara untuk melepaskan penat dari rutinitas harian. Namun di balik aktivitas santai itu, terdapat nilai-nilai penting seperti solidaritas, pertukaran gagasan, pembentukan opini, bahkan pembelajaran sosial. Di sana, mereka bisa menjadi diri sendiri tanpa tekanan, sambil tetap merasa menjadi bagian dari kelompok.

Media Sosial, Citra Diri, dan Tekanan Eksistensi

Kemunculan media sosial telah mengubah wajah budaya nongkrong. Tidak sedikit anak muda yang nongkrong bukan karena ingin berbagi cerita atau membangun relasi, tetapi demi mengabadikan momen untuk konten Instagram, TikTok, atau Snapchat. Nongkrong kini bukan hanya tentang hadir secara fisik, tapi juga tentang “terlihat” secara digital.

Fenomena ini menimbulkan tekanan sosial yang tidak kecil. Ada perasaan “harus” pergi ke tempat-tempat hits agar tidak dianggap ketinggalan zaman. Nongkrong bukan lagi soal keakraban, tapi soal validasi sosial. Tempat yang dipilih, outfit yang dikenakan, bahkan jenis kopi yang dipesan, semuanya bisa menjadi simbol status dan identitas yang dibangun secara artifisial.

Namun di sisi lain, media sosial juga bisa menjadi alat untuk memperluas jejaring, menemukan komunitas baru, atau menguatkan solidaritas. Kuncinya ada pada kesadaran: apakah kita menggunakannya untuk membangun diri, atau hanya mengikuti arus demi eksistensi semu?

Pencarian Jati Diri: Proses yang Tak Terelakkan

Masa muda adalah periode transisi yang penuh gejolak. Di usia ini, seseorang mulai bertanya: siapa saya? Apa yang saya inginkan? Di mana saya ingin berada? Nongkrong, dalam konteks ini, menjadi salah satu ruang eksplorasi jati diri.

Lewat obrolan santai, perdebatan ringan, bahkan candaan yang sepele, anak muda belajar mengenal perspektif orang lain, menyusun argumen, dan mengasah empati. Ini adalah latihan sosial yang kadang luput dari pendidikan formal.

Bahkan kelompok nongkrong bisa berperan sebagai “keluarga kedua” yang menawarkan dukungan emosional, terutama bagi mereka yang tidak menemukan kenyamanan di rumah atau sekolah. Di lingkaran ini, seseorang bisa merasa diterima, dimengerti, dan didengarkan.

Nongkrong yang Produktif: Mungkinkah?

Stigma negatif terhadap budaya nongkrong sering kali muncul karena dikaitkan dengan aktivitas yang tidak produktif—misalnya begadang tanpa arah, konsumsi rokok dan kopi berlebihan, atau sekadar bersantai tanpa tujuan. Namun, banyak komunitas anak muda yang justru memanfaatkan budaya nongkrong sebagai alat produktivitas dan pemberdayaan.

Contohnya, komunitas kreatif yang rutin nongkrong sambil membuat konten, berdiskusi tentang isuisu sosial, mengadakan open mic, hingga merancang proyek sosial. Nongkrong menjadi ajang kolaborasi dan inovasi.
Hal ini membuktikan bahwa budaya nongkrong tidak selalu identik dengan hal negatif. Ketika diarahkan dengan baik, aktivitas ini bisa menjadi wadah bertumbuh—baik secara personal maupun kolektif.

Lalu, Perlu Diaturkah Budaya Nongkrong Ini?

Pemerintah daerah di beberapa kota sempat mencoba membuat regulasi yang membatasi aktivitas nongkrong malam hari, terutama di tempat-tempat umum yang rawan kerusuhan atau kebisingan. Tapi langkah seperti ini sering menimbulkan resistensi, karena tidak melihat akar permasalahannya: anak muda butuh ruang.

Daripada membatasi, lebih baik menyediakan alternatif ruang kreatif yang aman dan terjangkau bagi anak muda untuk berkumpul, berekspresi, dan mengembangkan diri. Ruang terbuka, taman budaya, perpustakaan komunitas, atau kafe komunitas bisa menjadi solusi.

Bukan Sekadar Duduk-Duduk

Nongkrong bukan sekadar kebiasaan duduk-duduk dan ngobrol kosong. Bagi sebagian besar anak muda, ini adalah bagian penting dari perjalanan hidup mereka. Tempat untuk belajar menjadi bagian dari masyarakat, membangun relasi, hingga mencari tahu siapa sebenarnya diri mereka.

Namun seperti semua hal lain, nongkrong juga butuh keseimbangan. Jika dilakukan berlebihan, bisa berdampak negatif. Tapi jika dimaknai dengan sadar dan diarahkan ke hal-hal yang positif, nongkrong bisa jadi jembatan penting menuju kedewasaan.

Jadi, apakah nongkrong hanya gaya hidup? Tidak sepenuhnya. Ia adalah salah satu cermin dari dinamika sosial anak muda Indonesia. Di balik tawa, kopi, dan cerita ringan, ada proses pencarian yang lebih besar—mengenal dunia dan diri sendiri.

Farezielka Yudista Susilo