Kisruh Rebutan Pulau: Ancaman Disintegrasi dalam Negeri

Oleh: Bella Lutfiyya

Aceh dan Sumatera Utara, dua provinsi paling Barat dari Indonesia yang sempat berada dalam polemik panas perebutan pulau yang memicu perdebatan. Empat pulau yang diperebutkan, yaitu Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek yang selama ini diakui dan dikelola oleh Kabupaten Aceh Singkil, tiba-tiba berpindah tangan secara sepihak ke Sumatera Utara melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 yang akhirnya memicu gelombang protes dan kebingungan masyarakat Aceh (nasional.kompas.com, 15 Juni 2025).

Aceh, menganggap bahwa keempat pulau tersebut masuk dalam wilayah mereka menurut sejarah. Dalam SK Kepala Inspeksi Agraria Daerah Istimewa Atjeh Nomor 125/IA/1965 tanggal 17 Juni 1965, membuktikan secara administrasi dikeluarkan oleh instansi yang berada dalam Provinsi Aceh. Kemudian bukti kedua adalah surat kuasa dari Teuku Djohandsyah bin Teuku Daud kepada Teuku Abdullah bin Teuku Daud tertanggal 24 April 1980. Lalu, Pemda Aceh juga memiliki peta topografi TNI AD 1978 yang menyelesaikan batas Aceh dengan Sumut. Peta tersebut dengan jelas memberikan status bahwa empat pulau berada di dalam wilayah Pemda Aceh.

Adapun Sumatera Utara, memberikan dasar wilayah empat pulau tersebut dari Berita Acara Rapat Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi pada 30 November 2017. Mereka juga mendalilkan bahwa empat pulau itu masuk wilayah Sumut dari hasil verifikasi oleh Timnas Nama Rupabumi pada 2008 (nasional.kompas.com, 12 Juni 2025)

Pengalihan empat pulau dari Provinsi Aceh ke Provinsi Sumatera Utara mengundang perdebatan. Apalagi dengan adanya dugaan potensi migas di wilayah tersebut berdasarkan data Kementerian Energi Sumberdaya Mineral (ESDM) menyebutkan wilayah lepas laut (offshore) Singkil memiliki potensi migas yang “cukup besar”. Berita terbaru dari BBC menyebutkan bahwa keputusan telah ditetapkan oleh Presiden Prabowo dengan melihat laporan Kementerian Dalam Negeri, dokumen, dan data-data pendukung bahwa 4 pulau tersebut akhirnya masuk wilayah Provinsi Aceh. (bbc.com, 17 Juni 2025).

Kasus perebutan wilayah ini muncul ketika pengelolaan pemerintahan daerah menggunakan sistem Otonomi Daerah (Otda), yaitu sistem yang lahir dalam kerangka demokrasi sekuler-kapitalis, terutama dari pemikiran negara-negara Barat pasca-revolusi industri dan modernisasi pemerintahan.

Otda membuat masing-masing daerah diberi kewenangan penuh pada daerah dalam mengatur urusan pemerintahan, termasuk dalam mengatur pendapatan daerah. Otda akan memicu adanya perbedaan taraf hidup rakyat di masing-masing daerah. Oleh karena itu, wajar saja jika terjadi kisruh perebutan wilayah apalagi dengan informasi adanya dugaan kandungan migas atau kekayaan alam lainnya di wilayah tersebut.

Selain itu, Otda juga dapat memicu adanya kecemburuan sosial suatu daerah yang memiliki Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang tinggi. Perbedaan tingkat kesejahteraan juga dapat memicu adanya disintegrasi. Hal ini akibat sistem pemerintahan yang tidak tersentralisasi.

Islam sebagai agama yang sempurna -dan tak banyak yang tahu- bahwa Islam mengatur banyak hal dalam setiap aspek kehidupan manusia, terutama dalam hal politik dan pemerintahan. Selama ini, Islam hanya dipandang sebagai agama -yang mengatur ibadah saja-, sedangkan hal-hal di luar itu diserahkan keputusannya pada sistem yang batil, buatan manusia.

Islam mengatur hubungan antara manusia dengan manusia lainnya, dalam hal inilah aturan mengenai politik dan pemerintahan ditemukan. Dengan memakai Islam sebagai cara hidup dan pedoman, kasus-kasus seperti perebutan wilayah ini mustahil terjadi. Aturan dan hukum-hukum yang ada berasal dari Allah SWT, berbeda dengan sistem saat ini yang memakai sistem buatan manusia yang rentan sekali diubah-ubah sesuai kepentingan segelintir orang.

Islam menetapkan adanya pengelolaan wilayah oleh negara secara sentralistik yang mana peran Khalifah atau pemimpin memiliki peran yang amat penting dalam mengatur umat, sehingga umat tidak akan terpecah belah, apalagi karena perebutan wilayah yang dinilai memiliki “harta”. Negara akan mengayomi umat, sehingga tidak akan mudah diadu domba apalagi terkait dengan harta dan kekuasaan. Semua akan bersatu padu dalam keimanan dan kepatuhan serta ketaatan pada pemimpin dan Allah SWT.

Negara yang menerapkan Islam juga bertanggung jawab penuh dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat secara merata pada seluruh wilayah, tidak tergantung pada pendapatan masing-masing wilayah dan semuanya dikelola oleh negara untuk kepentingan seluruh rakyat.

Tak akan ada kecemburuan sosial, ketimpangan sosial, ketimpangan pendidikan, ketidakadilan, karena negara yang menerapkan Islam akan mewujudkan kehidupan yang sejahtera secara merata, baik dari segi ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan keamanan rakyatnya.

Negara akan berlaku adil dalam mengurus rakyat karena Islam menetapkan penguasa sebagai raain (pelayan) bagi rakyat yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT. Sayangnya, peran negara seperti itu tidak ditemukan pada sistem saat ini.

Penguasa yang lepas tangan, baru bertindak setelah kasusnya viral, hanya mementingkan kepentingan sendiri dan oligarki, dan hanya memberikan solusi yang tambal-sulam, tidak tuntas pada akarnya. Kasus perebutan wilayah ini akan terus terjadi entah dalam waktu dekat atau di kemudian hari, entah di wilayah mana lagi, selama sistem yang dipakai seperti saat ini.

Saatnya kembali pada sistem yang hakiki dengan Islam sebagai pedoman dan sumber hukumnya. Semua orang harus sadar, bahwa saat ini hukum bisa dibeli, orang-orang bisa disuap, izin kepemilikan bisa dibeli, pulau-pulau bisa dijual, kekayaan alam akan terus dikeruk.

Sangat berbeda dengan hukum yang berasal dari Allah SWT, pencipta manusia dan alam semesta dengan sumber hukum yang kekal -tidak subjektif-, tidak bisa dibeli ataupun disuap, dan orang-orang yang dzalim akan mempertanggungjawabkan setiap perbuatannya dalam bentuk sanksi, baik sanksi di dunia maupun sanksi di akhirat.