MAJALAH BOGOR – Masih teringat jelas dipikiran momen saat akhirnya saya memutuskan untuk merantau ke Jakarta. Ada rasa deg-degan yang bercampur antusias. Bagi saya, Jakarta bukan hanya sekedar kota besar, tapi simbol dari banyak harapan , kesempatan baru, kebebasan, kemandirian, dan tempat menggapai cita – cita.Saat teman-teman seangkatanku sibuk mendaftar kuliah dan memakai baju almamater kampus impiannya .aku memilih jalan yang berbeda: aku ingin bekerja. Hal ini dikarenakan ekonomi keluarga yan:g tidak mendukung dan Aku juga ingin membuktikan bahwa aku bisa mandiri,
Bisa berdiri di kaki sendiri.
Awalnya aku berpikir bahwa bekerja di ibu kota pasti menyenangkan. Aku membayangkan diri berjalan cepat di tengah orang-orang sibuk, memakai seragam kerja, tersenyum melayani pelanggan, di akhir bulan menerima gaji yang cukup untuk membiayai hidupku sendiri , dan bisa mencapai cita-cita dengan menabung. Tapi seperti banyak hal dalam hidup, kenyataan seringkali jauh dari apa yang kita bayangkan dan yang kita inginkan. Mencari rupiah di ibu kota dengan bermodal ijazah SMA dan berstatus fresh graduate tidak semudah dan seenak yang aku bayangkan waktu SMA.
Pada Minggu pertama di Jakarta, Aku mencoba memberikan surat lamaranku kepada ruko-ruko yang terletak dipinggir jalan. Hingga pada akhirnya Aku mendapat pekerjaan di sebuah toko ponsel, LC Cellular. Awalnya aku sangat senang. Aku merasa sudah satu langkah lebih maju dari teman-temanku dan harapanku untuk bisa melanjutkan pendidikan akan tercapai dengan perlahan. Aku pikir, “Akhirnya aku punya pekerjaan.” Tapi hari-hari berikutnya mulai membuka mataku. Dunia kerja tidak sesederhana dan tidak seenak yang aku pikirkan. Di balik etalase ponsel yang mengilap dan senyum manis yang harus terus terpampang di wajah, ada tekanan dan tantangan yang tidak pernah aku duga sebelumnya.
Gaji? Jangan bayangkan gaji datang dengan segampang itu, langsung masuk rekening di akhir bulan. Tidak, untuk mendapatkan gaji itu, aku harus melewati banyak sekali rintangan. Kadang pikiran tidak berhenti bertengkar diam-diam dalam hati saat bekerja dari jam 10.00 pagi sampai 21.00 malam, tetap berdiri walau tubuh sudah lelah . Kadang harus menahan tangis karena dimarahi tanpa alasan, atau saat merasa diperlakukan tidak adil dan berhadapan dengan rekan kerja yang egois. Ada kalanya aku merasa seperti roda yang terus berputar tapi tak pernah tahu arahnya kemana.
Dari dunia pekerjaan aku belajar banyak. Aku belajar menahan diri, belajar beradaptasi dengan berbagai karakter pelanggan, dan belajar sabar dalam menghadapi atasan yang merupakan keturunan China, sabar menghadapi pelanggan yang suka marah-marah, dan yang paling sulit, sabar terhadap diri sendiri. Aku belajar menyimpan amarah, menangis di kamar kos diam-diam, dan tetap bangun keesokan harinya dengan senyum manis yang dibuat-buat dan langkah kaki yang terasa berat untuk berangkat kerja.
Dan pada akhirnya, setelah empat bulan berlalu yang terasa sangat berat, aku mengambil keputusan untuk berhenti dari pekerjaan ini, Rasanya seperti kalah dan menyerah. Tetapi di sisi lain, aku juga merasa lega. Ada kelelahan yang tak bisa lagi aku tahan. Aku merasa kehilangan arah, dan satu-satunya arah yang masuk akal saat itu adalah pulang ke kampung halaman dan bertemu keluarga.
Pulang ke kampung halaman bukan merupakan suatu keputusan yang mudah. Tetapi dengan ini aku sadar, terkadang untuk bisa menemukan kembali semangat dan kekuatan, kita memang perlu kembali ke keluarga dan kedua orangtua. Kembali ke tempat di mana semuanya bermula dan tempat yang membangun semangatku.
Tapi satu hal yang menarik adalah—meskipun pekerjaan itu terasa berat dan jauh dari kata ideal, aku justru menemukan hal penting dan berharga dari sana. Pada saat sedang bekerja, aku pernah melayani seorang pelanggan yang sedang memakai jaket almamater Universitas Pamulang. Obrolan kami awalnya ringan, hanya tentang ponsel dan harga. Tapi kemudian, dia bertanya tentang pendidikanku. Saat aku menjawab belum kuliah dikarenakan faktor ekonomi yang tidak mendukung dia kemudian menyebut nama Unpam.
“Coba masuk Unpam aja. Katanya murah dan memiliki waktu kuliah yang sangat fleksibel, tapi lumayan bagus,” ucapnya waktu itu. Sederhana, tapi kalimat itu menempel di kepalaku sampai pada akhirnya aku memutuskan untuk kembali ke jakarta untuk mendaftarkan diri ke universitas Pamulang dengan dukungan dari kedua orangtuaku dan paman yang siap membantu biaya hidup dan kuliah. Sejak itu, benih keinginan untuk kuliah mulai tumbuh kembali. Dalam hati aku berpikir, mungkin memang jalanku belum berhenti. Mungkin dari pengalaman ini, aku memang sedang diarahkan untuk melanjutkan pendidikan. Dan mungkin, semua yang kujalani ini memang bagian dari prosesku.
Merantau ke Jakarta bukan pengalaman yang indah sepenuhnya. Tapi dari situ aku belajar banyak tentang realita hidup, tentang jatuh dan bangkit, tentang harapan yang harus terus dijaga walau dalam kondisi paling sulit sekalipun. Dan sekarang, ketika aku melihat ke belakang, aku tidak menyesal pernah mencoba. Karena dari pengalaman itu, aku bukan hanya lebih kuat—aku juga lebih tahu siapa diriku sebenarnya.
Semoga cerita perjalanan merantauku ini dapat memberikan semangat bagi pembaca untuk menggapai cita-cita dengan segala keterbatasan.
Muh Daniel fazli,