Atasi Kemiskinan dengan Islam

Oleh: Yayan Suryanah

Kemiskinan tetap menjadi tantangan besar di Indonesia. Menurut Bank Dunia (World Bank), lebih dari 60,3% penduduk Indonesia, atau sekitar 171,8 juta jiwa, hidup di bawah garis kemiskinan internasional dengan standar US$6,85 perkapita perhari (berdasarkan Purchasing Power Parity/PPP 2017). Standar US$6,85 PPP ini digunakan untuk negara berpendapatan menengah atas (upper-middle income), yang merupakan kategori Indonesia sejak 2023 dengan GNI perkapita US$4.870.

Adapun menurut Badan Pusat Statistik (BPS), dengan garis kemiskinan nasional perkapita Rp 595.242 perbulan, tingkat kemiskinan di Indonesia pada September 2024 hanya sebesar 8,57%, atau hanya sekitar 24,06 juta jiwa.

Selain problem kemiskinan, Indonesia juga menghadapi problem ketimpangan ekonomi yang cukup parah. Laporan Global Inequality Report 2022 menyebutkan Indonesia sebagai negara keenam dengan ketimpangan kekayaan tertinggi di dunia. Empat orang terkaya di Indonesia memiliki kekayaan lebih besar dari total kekayaan 100 juta penduduk termiskin. Data Oxfam (2023) menyebutkan: Dalam 20 tahun terakhir, kesenjangan antara yang terkaya dan termiskin di Indonesia tumbuh lebih cepat dibandingkan negara lain di Asia Tenggara.

Jelas, ini menunjukkan bahwa kemiskinan dan ketimpangan ekonomi di Indonesia bersifat struktural. Penyebab utamanya adalah penerapan sistem kapitalisme. Sistem kapitalisme memungkinkan akumulasi kekayaan di tangan segelintir elit, sementara mayoritas rakyat kesulitan memenuhi kebutuhan dasar. Kebijakan seperti pencabutan subsidi BBM dan dominasi konglomerasi atas sektor strategis memperburuk kondisi ini. Di sisi lain, negara yang seharusnya melayani rakyat, sering abai dalam menyediakan pendidikan, kesehatan dan infrastruktur.

Standar Kemiskinan dalam Islam

Islam tidak hanya memandang kemiskinan dari aspek materi, tetapi juga dari kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (dharûriyyat) dengan cara yang menjaga martabat dan keimanan seseorang. Dalam al-Quran, orang miskin disebut dengan istilah faqir dan miskin. Dalam pandangan para ulama, kedua istilah ini memiliki makna berbeda, namun kadang saling dipertukarkan. Keduanya disebutkan sebagai penerima zakat, sebagaimana firman Allah Swt.

“Sesungguhnya sedekah itu hanya untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin…”  (TQS at-Taubah [9]: 60).

Syaikh Abdul Qadim Zallum dalam Kitab Al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah (hlm.142-143) secara lebih rinci menjelaskan: Fakir adalah mereka yang tidak memiliki harta atau penghasilan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka seperti makan, pakaian dan tempat tinggal. Karena itu siapa saja yang penghasilannya lebih sedikit dari kebutuhan pokoknya, ia tergolong fakir, dan halal bagi dia menerima zakat.

Adapun miskin adalah mereka yang sama sekali tidak memiliki apa-apa, seakan-akan kefakiran telah “memukimkan” mereka (tidak bisa berger menurut Syaikh Abdul Qadim Zallum, miskin tingkatannya di bawah fakir, sebagaimana dalam firman Allah SWT: …aw miskîn [an] dzâ matrabah (atau orang miskin yang sangat fakir (melekat di tanah) (QS al-Balad [90]: 16). Maksudnya, orang yang bergelimang debu karena tak punya pakaian dan kelaparan. Hal Ini menegaskan bahwa kefaqiran dan kemiskinan diukur dari ketidakmampuan memenuhi kebutuhan hidup.

Islam Mengatasi Kemiskinan

Dalam hal mengatasi kemiskinan, Islam memiliki sejumlah mekanisme. Di antaranya: Pertama, pengaturan kepemilikan yang adil. Islam mengatur kepemilikan harta untuk mencegah penumpukan kekayaan pada segelintir orang.

Karena itu dalam sistem Islam, SDA (Sumber Daya Alam) seperti minyak, gas, tambang dan mineral adalah milik umum (al-milkiyyah al-‘aammah) yang wajib dikelola hanya oleh negara untuk rakyat. Haram dikuasai oleh individu atau korporasi. Namun, sistem kapitalisme yang diterapkan saat ini telah memperlihatkan sisi gelapnya melalui praktik eksploitasi ekonomi yang terjadi akibat liberalisasi pasar dan privatisasi sumber daya alam. Dalam sistem kapitalisme, kepemilikan dan pengelolaan aset-aset strategis seperti minyak, gas, air dan hutan diserahkan kepada individu atau korporasi.

Akibatnya, yang terjadi adalah akumulasi kekayaan di tangan segelintir orang, sementara masyarakat luas justru kehilangan akses terhadap hak-hak ekonominya. Ini berbeda dengan sistem ekonomi Islam yang menempatkan sumber daya strategis sebagai milik umum. Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani (2004) dalam An-Nizhâm al-Iqtishâdi fî al-Islâm menegaskan bahwa negara berkewajiban mengelola dan mendistribusikan hasil dari sumber daya tersebut demi kemaslahatan umat.

Kedua, dalam Islam, mekanisme seperti zakat, infak dan sedekah juga memastikan redistribusi dan pemerataan kekayaan di tengah-tengah masyarakat.

Ketiga, dalam Islam, setiap lelaki dewasa, terutama yang punya tanggungan keluarga, wajib mencari nafkah.

Keempat: Jaminan kebutuhan dasar oleh negara. Negara dalam Islam wajib menjamin pemenuhan kebutuhan dasar rakyat (pangan, sandang dan papan). Negara juga wajib menyelenggarakan pendidikan dan pelayanan kesehatan secara cuma-cuma bagi warganya. Ini karena pemimpin negara (Imam/Khalifah) dalam Islam bertanggung jawab penuh atas urusan warga negaranya.

Semua mekanisme ini hanya mungkin dilakukan jika negara menerapkan syariah Islam secara kâffah dalam seluruh aspek kehidupan. Inilah yang seharusnya diwujudkan, khususnya di negeri ini.

WalLâhu a’lam bi ash-shawâb.